Saudariku...
Pesona akhlakmu bagai mutiara yang berkilauan
Halus tuturmu menggambarkan pribadi yang santun
Kecantikan hatimu laksana kapas tanpa noda
Kesejukan aura jiwamu seperti bidadari syurga
Kau hiasi dirimu dengan bingkaian akhlak islami
Semakin berwibawa karena auratmu terhijabi.
Saat wanita lain bergelimang kesenangan semu
Menari-nari di atas lantai dansa
Menenggak arak dalam gelas-gelas kristal
Engkau justru mengurung diri Mentafakuri kehidupan akhirat yang masih ghaib
Mengembara dalam pencarian jati diri.
Di saat wanita lain asyik memilih busana trendi
Sibuk memoles tubuh dan wajah
Berlomba memamerkan aurat mereka
Engkau justru tampil bersahaja Dalam balutan gamis dan kerudung panjang
Engkau sembunyikan auratmu
Agar tak terjamah pesona kecantikan itu
Dari mata-mata lelaki ajnabi.
Di saat wanita-wanita lain tertawa lepas Menikmati euphoria tanpa batas
Menebar cinta basi pada lelaki
Engkau justru menangis dalam sujud
Mendaki taubat dalam bukit tahajud
Mengemis ampunan pada Penggenggam nyawa
Menutup lisan dari bicara sia-sia.
Di saat wanita-wanita lain mengidolakan
Miyabi, Britney Spears, Celine Dion, Maddona
Engkau mengidolakan Khadijah, Maryam, Asiyah, Fatimah
Di saat wanita lain bangga aibnya terbuka
Puas jika namanya di puja-puja
Engkau justru mengasingkan diri dari gemerlap dunia
Merahasiakan kebaikan yang kau lakukan pada sesama
Karena takut jatuh pada perbuatan riya'.
Di saat wanita-wanita lain menghabiskan waktu di plaza
Menghamburkan materi dengan sia-sia
Engkau justru menghabiskan waktumu di mushola
Menguatkan zikir dan memuja asma-Nya
Merenda istigfar di atas sajadah cinta.
Di saat wanita-wanita lain hanyut dalam pesona zaman
Bercengkerama liar dengan segala kemewahan
Sibuk memuja artis-artis idaman
Engkau justru sibuk mengkaji ilmu
Mendakwahkan agama Islam tanpa ragu
Berjibaku dengan segala kesulitan
Meneriakkan kalimat jihad militan.
Di saat wanita-wanita lain sibuk menenteng majalah erotis
Menggumbar gosip sesama secara sadis
Engkau justru teguh pada Al-Qur'an dan hadis Yang kau jadikan pegangan hidup
Agar iman di dadamu tidak redup.
Wanita pendamba syurga...
Agungnya akhlakmu berselimut mutiara
Pada rahimmu kelak generasi-generasi agama akan Allah amanahkan
engkau calon madrasah pertama, Saat mujahid-mujahid terlahir di dunia
(disimpan di my Blog sbg cerminan diri...kiriman : Tie Firzatunnisa)
Assalamu'alaykum... Bismillah... Laa ilahaillallah , Muhammad Rasulullah... ”Yaa muqallibal qulub, tsabbit qalbii ‘alaa diinika” ”Wahai Rabb yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku pada agama-Mu” Aamiin... (Hadist Riwayat at-Tirmidzi, Ahmad dan al-Hakim dishahihkan oleh adz-Dzahabi)
Robbanaa hablanaa min azwajinaa wadzurriyaatinaa qurrota a’yun waj alnaa lil muttaqiina imaamaa
Jumat, 25 Februari 2011
MUNAJAT PERNIKAHAN
Ya ALLAH...Hari ini 4 Mei...beberapa tahun silam, ENGKAU pertemukan dua hati berbeda dalam salah satu Rumah SuciMU dan ENGKAU ikat kami dalam satu ikatan suci nan halal, dimana banyak Do'a restu kami dapat, ucapan selamat nan tulus terangkai indah dalam kalimat,air mata kebahagiaan mengalir tak terbendung, sungguh kebahagiaan tak lagi terwakilkan dengan kata maupun kalimat.
Ya ALLAH...hari ini kami mengingat kembali janji pernikahan kami,dimana kami berjanji saling melindungi, menjaga, mengasihi, menyayangi, setia dalam suka dan duka dihadapan orangtua kami disaksikan ENGKAU yg Maha Merestui...
Ya ALLAH...Alhamdulillah... sudah ENGKAU naungi Rumah tangga kami dengan RidhoMU.
Dihari ini kami jadi teringat indahnya suatu ikatan suci dibawah naungan RidhoMU. Izinkanlah kami menikmati keistimewaan diantara keistimewaan hari-hari yg selalu KAU beri untuk kami...Izinkan kami sejenak menikmati manisnya & mengenang indahnya saat saat itu...
Di hari mengulang kembali tahun-tahun pernikahan kita... Aku coba pohonkan pada Allah rangkaian keinginanku dalam wujud doa. Semoga Allah mengijabahi pintaku... pinta kita... Aamiin.
Ya Allah... limpahkanlah rasa cinta kepada kami,
Yang Kau jadikan pengikat rindu Rasulullah dan Khadijah Al Qubro
Yang Kau jadikan mata air kasih sayang Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra
Yang Kau jadikan penghias keluarga Nabi-Mu yang suci.
Ya Allah... cukupkanlah permohonan kami dengan ridhoMu
Jadikanlah kami Suami & Istri yang saling mencintai dikala dekat,
Saling menjaga kehormatan dikala jauh,
Saling menghibur dikala duka,
Saling mengingatkan dikala bahagia,
Saling mendoakan dalam kebaikan dan ketaqwaan,
Serta saling menyempurnakan dalam peribadatan.
Ya Allah...Sempurnakanlah kebahagiaan kami
Dengan menjadikan perkawinan kami ini sebagai ibadah kepadaMu
Dan bukti ketaatan kami kepada sunnah Rasul-Mu.
Ya Allah…Indahkanlah rumah kami dengan kalimat-kalimatMu Nan suci.
Suburkanlah kami dengan keturunan yang membesarkan asmaMu.
Ya Allah…Jaga dan selamatkan kami dari segala badai yg kami temui spanjang kami mengarungi bahtera Rumah tangga ini....karena perjalanan ini belum usai
Sakinah Mawaddah warahmah ...itulah arah tujuan kami
Ya Allah... suburkanlah selalu rasa cinta diantara aku dengan suamiku agar tidak ada satu apapun yang bisa merusak kebahagiaan kami selain ketentuanMU..dan kepadaMU kami berlindung
Ya Allah...Barokahkanlah Rumah tangga kami agar bisa menjadi Baiti Jannati
Berkatilah pendengaran kami, penglihatan kami, hati kami, keturunan kami. Jadikanlah kami termasuk golongan orang-orang mukmin.
Sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Amiin…
Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku. Ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah para wanita itu kufur kepada ALLOH?” Beliau menjawab : “(Tidak, melainkan) mereka kufur kepada suami dan mengkufuri kebaikan (suami). Seandainya engkau berbuat baik kepada salah seorang dari mereka satu masa, kemudian suatu saat ia melihat darimu ada sesuatu (yang tidak berkenan di hatinya) niscaya ia akan berkata : Aku sama sekali belum pernah melihat kebaikan darimu.” (HR. Al- Bukhari )
Na’udzubillahi min dzalik... Semoga hal seperti ini dapat aku jauhi.
Suamiku...Kau adalah belahan hatiku
Bagian jiwaku dan detak diurat nadiku
Kau semai cinta dihatiku
Kau tuntun aku dalam samar dan kebimbanganku
Kau imami aku dalam setiap gerakku
Kau mahkotai aku dengan kelembutanmu
Kau berikan ketenangan dirisauku
Engkau adalah penentram jiwa yang gundah
Engkaulah peneguh hati nan dilanda sunyi
Tatapan dan senyummu penyejuk sanubari
Istanaku sepi tanpamu
Peraduanku hampa tanpa jiwamu
Tak ada jiwa keras kau tunjukkan padaku
Tak ada keangkuhan kau perlihatkan untukku
Tak ada kehebatan kau pamerkan dihadapanku
Yang kulihat hanya senyum tulus kau beri untukku
Yang kurasa hanya sejuknya kasih sayang kau persembahkan untukku
Aku pasrah dan ikhlas dalam hatimu
Aku seutuhnya milikmu...hanya untukmu..bersama dalam RidhoNYA
Suamiku...aku memang bukan Hajar yg setia pd tugas suami
aku juga bukan Maryam yang pandai menjaga kehormatan
dan aku bukan Khodijah yang selalu setia mendampingi suami menjalankan misi
tapi aku mau dan bisa menjadi Hajar, Maryam ataupun Khodijah asalkan engkau selalu menuntunku...
Suamiku...engkau bukanlah Lukmanul Hakim
Engkau juga bukan Nabi Ibrahim
dan engkau bukan Nabi Muhammad Salallahualaihiwasalm
Tapi engkau adalah sosok suami dan bapak yang bijak seperti Lukmanul Hakim
Engkau adalah sosok suami dan bapak yang tegas layaknya Ibrahim
Dan engkau bisa menjadi suami dan bapak yang penuh kasih seperti Muhammad Salallahu alaihiwassalam
Amiiin....
Ajaklah anak-anak kita mengenal Allah...
Dukung aku untuk jadi istri yang Soleha...
Bersama kita menggapai Keluarga Sakinah mawaddah warahmah...
Bersama kita membentuk Istana menjadi Baiti Jannati...
ISTERI UNTUK SUAMIKU
Malam itu tak ada yang istimewa kecuali tatapanku pada sesuatu yang cukup menyedot seluruh isi jiwaku. Ya, suamiku berpamitan untuk memasuki kamar pengantinnya sambil mengatakan, "Titip anak-anak, ya Mi!" Tangisku pun meledak saat itu juga. Sakit sekali. Dan aku pun terbangun sambil menangis dengan air mata berderai ditingkahi dengan ekspresi kebingungan suamiku.
Ini adalah sepenggal mimpi yang kualami pada malam ketujuh pernikahanku. Bagi sebagian orang, mimpi hanya dianggap sebagai bunga tidur. Bagi seorang mukmin mimpi baik adalah dari Allah dan mimpi buruk dari setan. Bagiku, sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai mimpi baik atau buruk.
Suatu saat di sebuah forum ta’aruf, pihak ikhwan menanyakan pandangan sang ukhti tentang poligami. Di luar dugaan akhwat yang sudah lama tertarbiyah itu menjawab dengan mantap, "Langkahi dulu mayatku!" Di kesempatan lain ada umahat yang ditanyai suaminya, "Gimana kalau Abi nikah lagi?" Dengan kalem isterinya menjawab, " Enakan gini ajalah, Bi!"
Poligami! Mungkin ini kata yang paling ditakuti oleh sebagian besar wanita. Dan membaca judul di atas lebih banyak wanita yang mengucap na’udzubillah daripada insya Allah. Memang harus diakui, ketakutan ini pun ternyata juga melingkupi kalangan da’iyah alias aktivis dakwah. Wajar memang. Karena, rasa cinta sering membuat kita tidak ingin berbagi, apalagi berbagi suami.
Pernah di suatu majalah, termuat tulisan seorang umahat yang suaminya baru saja meninggal: hati saya yang sedih bertambah sakit melihat sikap umahat lain yang kelihatan sudah mulai was-was kalau suami mereka nanti akan menikahi saya.
Dalam hidup ini kita dibebani untuk beribadah dan jadi khalifah. Dua tugas yang akan memuliakan, siapa pun yang berani dan sanggup memperjuangkannya. Termasuk dalam hal ini masalah poligami. Membayangkan suami menikah lagi saat kita masih hidup adalah sesuatu yang mengerikan. Minimal, tidak menyenangkan. Apa kata orang tua, tetangga, kerabat. Hal ini wajar, karena kesan poligami di masyarakat kita masih sangat negatif. Tapi, hukum Allah tidak akan berubah. Poligami diperbolehkan, artinya tidak dilarang walaupun juga tidak dianjurkan. Menjaga batas bahwa ini diperbolehkan, itulah yang tidak mudah.
Sering tanpa sadar, kita telah membuat hukum poligami menjadi haram. Minimal, makruh dengan berbagai alasan. Sehingga, bila hal itu dialami oleh sebagian dari kita, kita merasa perlu untuk turut berduka cita.
Kisah yang luar biasa saya dapatkan ketika seorang umahat dari kota gudeg melepas suaminya menikah lagi. Saat tamu-tamu umahat menyalaminya dengan tangis di wajah, maka dia malah bertanya: "Kenapa menangis? Padahal, ini adalah momen yang membahagiakan?" Subhanallah, inilah jawaban yang menunjukkan kejujuran iman.
Bicara mengenai poligami dalam aplikasinya yang `nyunnah‘, saya kira tidak ada masalah. Dalam hal ini tidak ada yang menyakiti dan disakiti. Tapi, ini hanya bisa terwujud bila ketiga belah pihak menempatkan diri sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan, porsi di sini adalah syariat Allah. Ini tidak mudah, kecuali bila lapang dada Allah karuniakan pada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Lurusnya niat untuk semata-mata memohon kebaikan di dunia, akhirat, serta dakwah, juga sangat menentukan keberkahan dari keputusan untuk berpoligami.
Kembali ke mimpi saya. Dari tujuh hari pernikahan sampai memasuki tahun ketujuh. Dari hidup berdua, sampai hidup berlima dengan tiga buah hati. Waktu yang cukup lama untuk belajar tentang banyak hal, terutama belajar bagaimana mencintai. Belajar untuk terus menambah rasa syukur atas kesempatan yang Allah berikan berupa karunia pendamping yang shaleh. Belajar bahwa mencintai adalah keinginan untuk membahagiakan dan bukan sekadar keinginan untuk memiliki. Belajar bahwa was-was dan khawatir tentang apa pun yang akan terjadi adalah tipu daya setan. Maka, ketenangan pun merasuki seluruh jiwa dan raga.
Bila tahun-tahun awal pernikahan, canda suami tentang poligami selalu mendapat reaksi marah dan sedih. Terlepas, dari teori Ustadz Cahyadi, bahwa bila suami sering mengajak bicara soal poligami sebenarnya dia tidak benar-benar ingin melakukannya. Dan sebaliknya, jika suami jarang membicarakannya, kemungkinan besar dia malah benar-benar menginginkannya.
Saat ini, saya berharap bisa menjawab dengan arif, "Insya Allah, kalau itu akan membahagiakanmu dan akan menambah kecintaan Allah pada kita, maka aku jadi orang pertama yang akan mendukungmu untuk berpoligami." –wallahu’alam–
Ini adalah sepenggal mimpi yang kualami pada malam ketujuh pernikahanku. Bagi sebagian orang, mimpi hanya dianggap sebagai bunga tidur. Bagi seorang mukmin mimpi baik adalah dari Allah dan mimpi buruk dari setan. Bagiku, sulit untuk mengklasifikasikannya sebagai mimpi baik atau buruk.
Suatu saat di sebuah forum ta’aruf, pihak ikhwan menanyakan pandangan sang ukhti tentang poligami. Di luar dugaan akhwat yang sudah lama tertarbiyah itu menjawab dengan mantap, "Langkahi dulu mayatku!" Di kesempatan lain ada umahat yang ditanyai suaminya, "Gimana kalau Abi nikah lagi?" Dengan kalem isterinya menjawab, " Enakan gini ajalah, Bi!"
Poligami! Mungkin ini kata yang paling ditakuti oleh sebagian besar wanita. Dan membaca judul di atas lebih banyak wanita yang mengucap na’udzubillah daripada insya Allah. Memang harus diakui, ketakutan ini pun ternyata juga melingkupi kalangan da’iyah alias aktivis dakwah. Wajar memang. Karena, rasa cinta sering membuat kita tidak ingin berbagi, apalagi berbagi suami.
Pernah di suatu majalah, termuat tulisan seorang umahat yang suaminya baru saja meninggal: hati saya yang sedih bertambah sakit melihat sikap umahat lain yang kelihatan sudah mulai was-was kalau suami mereka nanti akan menikahi saya.
Dalam hidup ini kita dibebani untuk beribadah dan jadi khalifah. Dua tugas yang akan memuliakan, siapa pun yang berani dan sanggup memperjuangkannya. Termasuk dalam hal ini masalah poligami. Membayangkan suami menikah lagi saat kita masih hidup adalah sesuatu yang mengerikan. Minimal, tidak menyenangkan. Apa kata orang tua, tetangga, kerabat. Hal ini wajar, karena kesan poligami di masyarakat kita masih sangat negatif. Tapi, hukum Allah tidak akan berubah. Poligami diperbolehkan, artinya tidak dilarang walaupun juga tidak dianjurkan. Menjaga batas bahwa ini diperbolehkan, itulah yang tidak mudah.
Sering tanpa sadar, kita telah membuat hukum poligami menjadi haram. Minimal, makruh dengan berbagai alasan. Sehingga, bila hal itu dialami oleh sebagian dari kita, kita merasa perlu untuk turut berduka cita.
Kisah yang luar biasa saya dapatkan ketika seorang umahat dari kota gudeg melepas suaminya menikah lagi. Saat tamu-tamu umahat menyalaminya dengan tangis di wajah, maka dia malah bertanya: "Kenapa menangis? Padahal, ini adalah momen yang membahagiakan?" Subhanallah, inilah jawaban yang menunjukkan kejujuran iman.
Bicara mengenai poligami dalam aplikasinya yang `nyunnah‘, saya kira tidak ada masalah. Dalam hal ini tidak ada yang menyakiti dan disakiti. Tapi, ini hanya bisa terwujud bila ketiga belah pihak menempatkan diri sesuai dengan porsinya masing-masing. Dan, porsi di sini adalah syariat Allah. Ini tidak mudah, kecuali bila lapang dada Allah karuniakan pada semua pihak yang terlibat di dalamnya. Lurusnya niat untuk semata-mata memohon kebaikan di dunia, akhirat, serta dakwah, juga sangat menentukan keberkahan dari keputusan untuk berpoligami.
Kembali ke mimpi saya. Dari tujuh hari pernikahan sampai memasuki tahun ketujuh. Dari hidup berdua, sampai hidup berlima dengan tiga buah hati. Waktu yang cukup lama untuk belajar tentang banyak hal, terutama belajar bagaimana mencintai. Belajar untuk terus menambah rasa syukur atas kesempatan yang Allah berikan berupa karunia pendamping yang shaleh. Belajar bahwa mencintai adalah keinginan untuk membahagiakan dan bukan sekadar keinginan untuk memiliki. Belajar bahwa was-was dan khawatir tentang apa pun yang akan terjadi adalah tipu daya setan. Maka, ketenangan pun merasuki seluruh jiwa dan raga.
Bila tahun-tahun awal pernikahan, canda suami tentang poligami selalu mendapat reaksi marah dan sedih. Terlepas, dari teori Ustadz Cahyadi, bahwa bila suami sering mengajak bicara soal poligami sebenarnya dia tidak benar-benar ingin melakukannya. Dan sebaliknya, jika suami jarang membicarakannya, kemungkinan besar dia malah benar-benar menginginkannya.
Saat ini, saya berharap bisa menjawab dengan arif, "Insya Allah, kalau itu akan membahagiakanmu dan akan menambah kecintaan Allah pada kita, maka aku jadi orang pertama yang akan mendukungmu untuk berpoligami." –wallahu’alam–
BAITI JANNATI
Rumahku surgaku." Indah nian harapan yang disiratkannya. Harapan, karena banyak juga ungkapan lain yang bernada pesimis, bahkan putus asa. Dimana salahnya bila ada orang bersungut menggerutui nasib: "Gagasan tumbuh di jalan, berkembang di kantor dan mati di rumah," desahnya.
Sebagai ungkapan sambil lalu, tentu saja banyak hal mengundangnya. Kalimat ringkih itu boleh jadi lahir dari kegagalan menata rumah tangga dan karir. Mungkin dari pengalaman pahit dan realita yang dialami oleh mereka yang sangat alim dan sukses dalam suatu bidang, tetapi mendapat cobaan internal, keluarga yang ‘telmi‘ atau ‘tilulit‘. Untuk hal terakhir ini ada ungkapan, "Orang yang paling zuhud terhadap ulama adalah keluarga dan tetangganya."
Tetapi bagi sebahagian yang lain justeru "rumah adalah mata air gagasan yang tak pernah kering". Hanya sedikit keluarga yang dapat memposisikan seorang anggota keluarga mereka sebagai imam, ulama, profesional, tokoh atau pemimpin masyarakat di suatu saat dan kapan mereka memperlakukannya sebagai ayah, ibu, anak atau saudara.
Itulah sebabnya kita mendengar ungkapan para isteri Kanjeng Nabi SAW memanggilnya dengan sebutan Rasulullah. Sesekali saja ungkapan terkait dengan peran kekeluargaan. "Sungguh aku hafal benar kebiasaanmu hai Aisyah. Bila engkau sedang gembira, engkau sebut, ‘Demi Tuhan Muhammad ; dan bila engkau sedang marah engkau sebut, "Demi Tuhan Ibrahim,"’ begitu kata Rasulullah.
Mereka yang kurang beruntung, boleh melantunkan senandung duka bersama Abu’l ala’ Alma-’arri, penyair skeptis satiris itu:
Orang-orang mulia
perantau di negeri mereka
diasingkan dan dijauhi kerabat keluarga
Ainal Khalal? Dimana Celah Salahnya?
Dimana celah salahnya? Ketika seseorang tak lagi merasakan nyaman melakoni perannya, di situ soal bermula. Alangkah malang perempuan yang kaumnya telah melimpahkan kontribusi besar bagi peradaban, dengan melahirkan dan membesarkan ikon-ikon maksiat di berbagai bidang kehidupan, lalu menggerutu tak pernah kebagian peran. Hari-hari ini (sebagian) mereka menggerutu dizalimi oleh sistem langit, tanpa mampu membuktikan, betulkah kezaliman lahir dari tradisi ataukah dari sistem pesan-pesan yang diturunkanNya, atau mungkin saja lahir dari kecenderungan negatif yang diperturutkan?
Mereka gagal menyeret Aminah ibunda Rasulullah, Fathimah ibunda Hasan dan Husain, ibu-ibu Imam Malik, Imam Syafiie, Sayyid Quthb, Al-Banna dan ibu Socrates untuk bersama-sama memberi kesaksian bahwa agama menjadi biang keladi kezaliman. Akhirnya mereka menuduh tafsir-tafsir itu telah bias. Ini tuduhan khas dari kalangan yang belum berani menuduh Al-Qur’an sebagai produk budaya. Yang paling berani akan langsung menuduh Al-Qur’an dan Assunnah, tanpa keberanian mendeklarasikan diri keluar dari Islam. Kesempatan telah diberikan dan perempuan-perempuan pengukir sejarah telah mengambil peran mereka dengan baik, tanpa mendengki atau didengki laki-laki.
Khaulah memang kecewa oleh kelakuan suaminya. Hindun juga sempit hati karena belanja yang diberikan suaminya kurang selalu, padahal kekayaannya melimpah. Tetapi mereka tidak mempolarisasikan kekecewaan menjadi kutub perseteruan terhadap laki-laki, bahkan sampai tingkat rekayasa besar untuk menjadikan laki-laki (harus) bisa hamil.
Sejarah tak mungkin lupa, bagaimana mula pertama kanjeng Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan Islam, pendukung pertama datang dari kalangan perempuan dan budak-budak. Selain Khadijah, Fathimah, Aisyah dan Asma, yang menemukan pembenaran samawi atas keagungan peri lakunya yang fitri, para budak, kaum miskin dan kelompok tak berbangsa, menemukan nilai-nilai kemerdekaan dan kehormatan disana. Al-Qur’an telah mengabadikan perlakuan terbaik Islam kepada perempuan ketika complainnya didengar dan hukum berpihak kepadanya. Hanya lelaki dungu yang mau melecehkan mereka dan hanya perempuan (dan laki-laki) pandir yang percaya bahwa risalah langit ini berpihak kepada laki-laki saja.
Dengarlah suara Khaulah, "Ya Rasul Allah, ia telah makan hartaku, habiskan kemudaanku dan kutaburkan untuknya (anak-anak) dari perutku, tetapi ketika menua usiaku dan berpencaran anak-anakku, tiba-tiba ia menziharku." Dan turunlah ayat membelanya pada surat Al-Mujadilah. (Qs.58)
Betapa keras komentar Rasul tentang perilaku kekerasan dalam keluarga, "Lelaki macam apa yang tak tahu malu, memukul isterinya di pagi hari lalu menggaulinya di petang hari."
Kembali ke Jatidiri
Sesudah jaminan yang tak menyisakan dusta ini apa lagi yang diragukan? "Sebaik-baik zaman, ialah zamanku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya." (HR. Bukhari, Muslim). Ya, zaman baik bagi pemikiran yang waras, bagi pertumbuhan generasi, bagi kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.
Anak-anak berbakti kepada ibu-bapaknya. Yang tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Ini hal yang tak menyenangkan bagi penganut wacana konflik dalam novel, nuansa darah dalam politik, nuansa hedonik dalam selera, atau nuasa erotik dalam seni.
Ketika pasangan-pasangan di usia produktif, hal utama yang mengemuka adalah tuntutan yang besar pada masing-masing pribadi terhadap pasangannya, ajaran kearifan yang dibimbing Rasulullah bagi ummatnya, adalah bagaimana selalu pada posisi memberi.
Tantangan Masa Depan
Ada kecenderungan di akhir zaman, di antara agen-agen pemikiran seberang. Selalu membandingkan kegagalan aplikasi sistem Islam sebagai kelemahan sistem dan mengabaikan kelemahan faktor manusia pelaksana. Inilah sikap fenomenologis yang kerap tak malu-malu menjadikan nilai-nilai abadi sebagai tertuduh. Kedepan ada pertanyaan besar yang menantang untuk dijawab. Mampukah tradisi, karakter dan moralitas umat yang dibangun di atas manhaj yang kokoh ini menjawab tantangan masa depan? Ketika bangsa ini meratifikasi komitmen HAM dengan catatan ia harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, mereka tetap saja menjadikannya sebagai harga mati, untuk apapun tujuannya.
Sebuah iklan layanan mengajukan sejumlah pernyataan atau perlawanan. "Siapa ingin diperkosa, silakan berpakaian seperti ini." Para penari erotis dapat terus bekerja dengan penuh gairah dengan naungan payung HAM. Ketika orang di seberang sana merindukan kedamaian keluarga Islami, disini orang sedang gandrung-gandrungnya meniru segala yang berbau sana. Kelambanan berfikir telah mendorong mereka untuk sekadar mengagumi kulit-kulit keindahan. Target-target pencapaian prestasi selalu berbau uang.
Maryarakat modem perlu becermin pada sikap Asiah binti Muzahim, isteri Fir’aun. Ia telah menjadikan seluruh tuntutannya bersifat ukhrawi, di tengah segala kemilau dunia yang melingkupinya. Ia menyindir pemuja dunia yang yakin mampu membangun rumah tangga bahagia hanya melalui benda. "Dan Allah telah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman (pada) peempuan Fira’un, ketika ia berkata, ‘ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di surga. Selamatkan daku dari Fir’aun dan amalnya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim."’ (QS. At-Tahrim: 11).
Namun selalu saja fatamorgana kehidupan datang menipu. Kelezatan yang menyimpan ancaman, banyak tak disadari. Seperti kata Rasul, "Perumpaan aku dan kamu, seperti seseorang yang menyalakan api. Mulailah serangga dan kupu-kupu berjatuhan kesana, sedang orang itu menghalau mereka dari api sementara aku memegangi pinggang-pinggang kamu, tetapi kamu berlepasan dari tanganku”. Wallahu’alam
Sebagai ungkapan sambil lalu, tentu saja banyak hal mengundangnya. Kalimat ringkih itu boleh jadi lahir dari kegagalan menata rumah tangga dan karir. Mungkin dari pengalaman pahit dan realita yang dialami oleh mereka yang sangat alim dan sukses dalam suatu bidang, tetapi mendapat cobaan internal, keluarga yang ‘telmi‘ atau ‘tilulit‘. Untuk hal terakhir ini ada ungkapan, "Orang yang paling zuhud terhadap ulama adalah keluarga dan tetangganya."
Tetapi bagi sebahagian yang lain justeru "rumah adalah mata air gagasan yang tak pernah kering". Hanya sedikit keluarga yang dapat memposisikan seorang anggota keluarga mereka sebagai imam, ulama, profesional, tokoh atau pemimpin masyarakat di suatu saat dan kapan mereka memperlakukannya sebagai ayah, ibu, anak atau saudara.
Itulah sebabnya kita mendengar ungkapan para isteri Kanjeng Nabi SAW memanggilnya dengan sebutan Rasulullah. Sesekali saja ungkapan terkait dengan peran kekeluargaan. "Sungguh aku hafal benar kebiasaanmu hai Aisyah. Bila engkau sedang gembira, engkau sebut, ‘Demi Tuhan Muhammad ; dan bila engkau sedang marah engkau sebut, "Demi Tuhan Ibrahim,"’ begitu kata Rasulullah.
Mereka yang kurang beruntung, boleh melantunkan senandung duka bersama Abu’l ala’ Alma-’arri, penyair skeptis satiris itu:
Orang-orang mulia
perantau di negeri mereka
diasingkan dan dijauhi kerabat keluarga
Ainal Khalal? Dimana Celah Salahnya?
Dimana celah salahnya? Ketika seseorang tak lagi merasakan nyaman melakoni perannya, di situ soal bermula. Alangkah malang perempuan yang kaumnya telah melimpahkan kontribusi besar bagi peradaban, dengan melahirkan dan membesarkan ikon-ikon maksiat di berbagai bidang kehidupan, lalu menggerutu tak pernah kebagian peran. Hari-hari ini (sebagian) mereka menggerutu dizalimi oleh sistem langit, tanpa mampu membuktikan, betulkah kezaliman lahir dari tradisi ataukah dari sistem pesan-pesan yang diturunkanNya, atau mungkin saja lahir dari kecenderungan negatif yang diperturutkan?
Mereka gagal menyeret Aminah ibunda Rasulullah, Fathimah ibunda Hasan dan Husain, ibu-ibu Imam Malik, Imam Syafiie, Sayyid Quthb, Al-Banna dan ibu Socrates untuk bersama-sama memberi kesaksian bahwa agama menjadi biang keladi kezaliman. Akhirnya mereka menuduh tafsir-tafsir itu telah bias. Ini tuduhan khas dari kalangan yang belum berani menuduh Al-Qur’an sebagai produk budaya. Yang paling berani akan langsung menuduh Al-Qur’an dan Assunnah, tanpa keberanian mendeklarasikan diri keluar dari Islam. Kesempatan telah diberikan dan perempuan-perempuan pengukir sejarah telah mengambil peran mereka dengan baik, tanpa mendengki atau didengki laki-laki.
Khaulah memang kecewa oleh kelakuan suaminya. Hindun juga sempit hati karena belanja yang diberikan suaminya kurang selalu, padahal kekayaannya melimpah. Tetapi mereka tidak mempolarisasikan kekecewaan menjadi kutub perseteruan terhadap laki-laki, bahkan sampai tingkat rekayasa besar untuk menjadikan laki-laki (harus) bisa hamil.
Sejarah tak mungkin lupa, bagaimana mula pertama kanjeng Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan Islam, pendukung pertama datang dari kalangan perempuan dan budak-budak. Selain Khadijah, Fathimah, Aisyah dan Asma, yang menemukan pembenaran samawi atas keagungan peri lakunya yang fitri, para budak, kaum miskin dan kelompok tak berbangsa, menemukan nilai-nilai kemerdekaan dan kehormatan disana. Al-Qur’an telah mengabadikan perlakuan terbaik Islam kepada perempuan ketika complainnya didengar dan hukum berpihak kepadanya. Hanya lelaki dungu yang mau melecehkan mereka dan hanya perempuan (dan laki-laki) pandir yang percaya bahwa risalah langit ini berpihak kepada laki-laki saja.
Dengarlah suara Khaulah, "Ya Rasul Allah, ia telah makan hartaku, habiskan kemudaanku dan kutaburkan untuknya (anak-anak) dari perutku, tetapi ketika menua usiaku dan berpencaran anak-anakku, tiba-tiba ia menziharku." Dan turunlah ayat membelanya pada surat Al-Mujadilah. (Qs.58)
Betapa keras komentar Rasul tentang perilaku kekerasan dalam keluarga, "Lelaki macam apa yang tak tahu malu, memukul isterinya di pagi hari lalu menggaulinya di petang hari."
Kembali ke Jatidiri
Sesudah jaminan yang tak menyisakan dusta ini apa lagi yang diragukan? "Sebaik-baik zaman, ialah zamanku, kemudian yang sesudahnya, kemudian yang sesudahnya." (HR. Bukhari, Muslim). Ya, zaman baik bagi pemikiran yang waras, bagi pertumbuhan generasi, bagi kehidupan berumah tangga dan bermasyarakat.
Anak-anak berbakti kepada ibu-bapaknya. Yang tua menyayangi yang muda dan yang muda menghormati yang tua. Ini hal yang tak menyenangkan bagi penganut wacana konflik dalam novel, nuansa darah dalam politik, nuansa hedonik dalam selera, atau nuasa erotik dalam seni.
Ketika pasangan-pasangan di usia produktif, hal utama yang mengemuka adalah tuntutan yang besar pada masing-masing pribadi terhadap pasangannya, ajaran kearifan yang dibimbing Rasulullah bagi ummatnya, adalah bagaimana selalu pada posisi memberi.
Tantangan Masa Depan
Ada kecenderungan di akhir zaman, di antara agen-agen pemikiran seberang. Selalu membandingkan kegagalan aplikasi sistem Islam sebagai kelemahan sistem dan mengabaikan kelemahan faktor manusia pelaksana. Inilah sikap fenomenologis yang kerap tak malu-malu menjadikan nilai-nilai abadi sebagai tertuduh. Kedepan ada pertanyaan besar yang menantang untuk dijawab. Mampukah tradisi, karakter dan moralitas umat yang dibangun di atas manhaj yang kokoh ini menjawab tantangan masa depan? Ketika bangsa ini meratifikasi komitmen HAM dengan catatan ia harus berlandaskan nilai-nilai ketuhanan dan keagamaan, mereka tetap saja menjadikannya sebagai harga mati, untuk apapun tujuannya.
Sebuah iklan layanan mengajukan sejumlah pernyataan atau perlawanan. "Siapa ingin diperkosa, silakan berpakaian seperti ini." Para penari erotis dapat terus bekerja dengan penuh gairah dengan naungan payung HAM. Ketika orang di seberang sana merindukan kedamaian keluarga Islami, disini orang sedang gandrung-gandrungnya meniru segala yang berbau sana. Kelambanan berfikir telah mendorong mereka untuk sekadar mengagumi kulit-kulit keindahan. Target-target pencapaian prestasi selalu berbau uang.
Maryarakat modem perlu becermin pada sikap Asiah binti Muzahim, isteri Fir’aun. Ia telah menjadikan seluruh tuntutannya bersifat ukhrawi, di tengah segala kemilau dunia yang melingkupinya. Ia menyindir pemuja dunia yang yakin mampu membangun rumah tangga bahagia hanya melalui benda. "Dan Allah telah memberikan perumpamaan bagi orang-orang yang beriman (pada) peempuan Fira’un, ketika ia berkata, ‘ya Allah, bangunkanlah untukku sebuah rumah di surga. Selamatkan daku dari Fir’aun dan amalnya dan selamatkan daku dari kaum yang zalim."’ (QS. At-Tahrim: 11).
Namun selalu saja fatamorgana kehidupan datang menipu. Kelezatan yang menyimpan ancaman, banyak tak disadari. Seperti kata Rasul, "Perumpaan aku dan kamu, seperti seseorang yang menyalakan api. Mulailah serangga dan kupu-kupu berjatuhan kesana, sedang orang itu menghalau mereka dari api sementara aku memegangi pinggang-pinggang kamu, tetapi kamu berlepasan dari tanganku”. Wallahu’alam
~ Wasiat Asma binti Kharijah ~
Wasiat Asma Binti Kharijah istri Auf Asy- Syaibani kepada putrinya sebelum pernikahannya, niscaya Anda akan mendapatkan perkataan yang lengkap tentang dasar-dasar hubungan suami istri dan adab-adab yang mesti dilazimi oleh setiap wanita terhadap suaminya.
Asma’ berkata kepada putrinya, “Wahai putriku! Jika wasiat disampaikan karena suatu keistimewaan atau keturunan maka aku tak akan memberikan wasiat ini kepadamu. Akan tetapi wasiat merupakan pengingat bagi orang yang mulia dan bekal bagi orang yang berakal. Wahai putriku ! jika seorang perempuan merasa cukup terhadap suaminya lantaran kekayaan kedua orangtuanya dan hajat kedua orangtuanya kepadanya, maka aku adalah orang yang paling merasa cukup dari semua itu. Akan tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki diciptakan untuk perempuan.
Wahai putriku, tak lama lagi kau akan keluar meninggalkan ayunan tempat kau ditimang dulu, dan berpindah ke atas ranjang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kau akan hidup bersama seorang kawan yang belum pernah kau kenal sebelumnya.
Oleh karena itu, jadilah bumi tempat ia berpijak, maka ia akan menjadi langit yang menaungimu. Jadilah dirimu tempat sandaran baginya, maka ia akan menjadi tiang yang meneguhkanmu. Jadilah pelayan baginya, ia akan menjadi abdi bagimu, dan jagalah sepuluh perkara yang menjadi haknya, niscaya ia akan menjadi simpanan bagimu.
Wahai Putriku, engkau akan berpisah dengan ibu yang telah melahirkanmu. Engkau akan meninggalkan kehidupan tempat engkau tumbuh, engkau memasuki tempat yang tidak kau ketahui sebelumnya dan teman yang belum engkau kenali seutuhnya. Maka jadilah miliknya, dan berhati-hatilah dari pemiliknya. Jadilah engkau ibu baginya, niscaya ia akan menghamba dan membalasmu.
Putriku, jagalah dihadapannya sepuluh nasihat ini, semoga menjadi simpanan dan pengingat untukmu :
* Pertama dan kedua: Bertemanlah dengannya dengan perasaan menerima, dan bergaulah dengan patuh dan taat kepadanya.
* Ketiga dan keempat: Jagalah pandangan mata dan penciuman hidungnya. Usahakan jangan sampai matanya melihatmu berbuat kejelekan, dan hidungnya jangan pernah mencium dari tubuhmu kecuali wewangian.
* Kelima dan keenam: Perhatikanlah waktu makan dan ketenangan diwaktu tidurnya. Karena rasa lapar membangkitkan emosi, dan tidur yang terganggu membuat marah.
* Ketujuh dan kedelapan: Jagalah hartanya, peliharalah keluarga dan kerabatnya. Karena menjaga harga merupakan cara bersahabat yang baik, sementara menjaga keluarga dan kerabat merupakan sifat yang agung dan mulia.
* Kesembilan dan kesepuluh: Jangan bocorkan rahasianya, dan jangan dustai perintahnya. Karena jika kau bocorkan rahasianya, kau tidak akan aman dari kemarahannya, dan jika kau dustai perintahnya akan mengobarkan emosinya. Janganlah bersikap senang dihadapannya, sementara ia sedang bersedih. Dan jangan pula bersedih sementara ia sedang bergembira. Karena sikap yang pertama merupakan kurangnya akhlak, dan sikap kedua mengingatkannya kepada kesedihan.
Asma’ berkata kepada putrinya, “Wahai putriku! Jika wasiat disampaikan karena suatu keistimewaan atau keturunan maka aku tak akan memberikan wasiat ini kepadamu. Akan tetapi wasiat merupakan pengingat bagi orang yang mulia dan bekal bagi orang yang berakal. Wahai putriku ! jika seorang perempuan merasa cukup terhadap suaminya lantaran kekayaan kedua orangtuanya dan hajat kedua orangtuanya kepadanya, maka aku adalah orang yang paling merasa cukup dari semua itu. Akan tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki dan laki-laki diciptakan untuk perempuan.
Wahai putriku, tak lama lagi kau akan keluar meninggalkan ayunan tempat kau ditimang dulu, dan berpindah ke atas ranjang yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Kau akan hidup bersama seorang kawan yang belum pernah kau kenal sebelumnya.
Oleh karena itu, jadilah bumi tempat ia berpijak, maka ia akan menjadi langit yang menaungimu. Jadilah dirimu tempat sandaran baginya, maka ia akan menjadi tiang yang meneguhkanmu. Jadilah pelayan baginya, ia akan menjadi abdi bagimu, dan jagalah sepuluh perkara yang menjadi haknya, niscaya ia akan menjadi simpanan bagimu.
Wahai Putriku, engkau akan berpisah dengan ibu yang telah melahirkanmu. Engkau akan meninggalkan kehidupan tempat engkau tumbuh, engkau memasuki tempat yang tidak kau ketahui sebelumnya dan teman yang belum engkau kenali seutuhnya. Maka jadilah miliknya, dan berhati-hatilah dari pemiliknya. Jadilah engkau ibu baginya, niscaya ia akan menghamba dan membalasmu.
Putriku, jagalah dihadapannya sepuluh nasihat ini, semoga menjadi simpanan dan pengingat untukmu :
* Pertama dan kedua: Bertemanlah dengannya dengan perasaan menerima, dan bergaulah dengan patuh dan taat kepadanya.
* Ketiga dan keempat: Jagalah pandangan mata dan penciuman hidungnya. Usahakan jangan sampai matanya melihatmu berbuat kejelekan, dan hidungnya jangan pernah mencium dari tubuhmu kecuali wewangian.
* Kelima dan keenam: Perhatikanlah waktu makan dan ketenangan diwaktu tidurnya. Karena rasa lapar membangkitkan emosi, dan tidur yang terganggu membuat marah.
* Ketujuh dan kedelapan: Jagalah hartanya, peliharalah keluarga dan kerabatnya. Karena menjaga harga merupakan cara bersahabat yang baik, sementara menjaga keluarga dan kerabat merupakan sifat yang agung dan mulia.
* Kesembilan dan kesepuluh: Jangan bocorkan rahasianya, dan jangan dustai perintahnya. Karena jika kau bocorkan rahasianya, kau tidak akan aman dari kemarahannya, dan jika kau dustai perintahnya akan mengobarkan emosinya. Janganlah bersikap senang dihadapannya, sementara ia sedang bersedih. Dan jangan pula bersedih sementara ia sedang bergembira. Karena sikap yang pertama merupakan kurangnya akhlak, dan sikap kedua mengingatkannya kepada kesedihan.
Langganan:
Postingan (Atom)